Tuesday, August 31, 2010

Jika Engkau Ingin Menjadi Pemimpin, Perhatikanlah Ini


By: Mario Teguh

Jika engkau ingin menjadi pemimpin, jangan pernah mengabaikan keharusanmu untuk melayani bagi kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecemerlangan mereka yang kau pimpin.
Kedudukanmu bukanlah untuk kemapanan dan kedamaianmu saja. Hanya merasa damai dan mapanlah, jika engkau telah berhasil menjadikan mereka yang kau pimpin hidup dalam kedamaian dan kemapanan.

Janganlah kerisauanmu hanya yang berkenaan dengan dirimu.
Engkau disebut pemimpin karena engkau menukarkan hak mu untuk merasa nyaman bagi kenyamanan orang banyak, engkau menomor-akhirkan tidurmu bagi kedamaian tidur mereka, dan engkau menunda istirahatmu agar yang paling kecil dari saudaramu itu – termudahkan upayanya untuk membangun kehidupan yang layak.

Jika itu yang mengisi pikiran dan hatimu, engkau akan berpendar dengan sinar kecintaan dari langit.
Jika hanya penyelamatan dirimu yang menjadi kegundahanmu, maka hanya kesantunan orang lain yang menjadi pelindung sementara bagimu.
Seorang pemimpin adalah pribadi biasa yang kesungguhannya tidak biasa dalam menjadikan dirinya pelayan bagi kebaikan hidup orang banyak.

Dia membangun keberhasilannya melalui keberhasilan orang lain.
Rencana besar bagi keberhasilan seorang pemimpin jalan keemasan terbuat dari rencana-rencananya bagi keberhasilan setiap individu yang berada dalam kepemimpinannya.
Banyak pribadi pada posisi kepemimpinan yang lupa bahwa mereka dianggap berhasil hanya apabila mereka menyebabkan peningkatan kualitas pada kehidupan anggota organisasi mereka, dan apabila mereka menyampaikan keuntungan bagi semua pemegang kepentingan mereka.

Anda - sebagai pemimpin dengan jalan keemasan - berupaya mencapai posisi kepemimpinan yang tertinggi bukan untuk menikmati kemudahan pada posisi itu, melainkan untuk menggapai tingkat kewenangan yang Anda butuhkan untuk mengharuskan ketaatan kepada nilai-nilai pelayanan atas semua anggota organisasi Anda.

Dia menjadikan dirinya seorang mahasiswa yang cemerlang pada akademi kepemimpinan yang bernama SITUASI.

Situasi adalah komponen pembentuk sejarah.
Seorang pemimpin dengan jalan kemasan mengetahui bahwa dengan mempelajari perilaku dari situasi, baik yang lalu maupun yang sedang dialaminya, dia akan mampu menghindari penalti dari terulangnya kesalahan, baik dari kesalahannya sendiri mau pun dari kesalahan orang lain.

Dengannya, dia bisa mencurahkan semua perhatian dan tenaganya bagi pelaksanaan terbaik dari praktik-praktik kepemimpinan yang telah terbukti membesarkan kehidupan, baik pribadi, organisasi, masyarakat, atau bangsa.

Baginya, semua keputusan yang ada dalam organisasinya adalah keputusan pribadinya.
Dari semua yang bisa didelegasikannya, dia tidak akan pernah mendelegasikan keputusan yang harus diambilnya dari posisi kepemimpinannya.
Dia mungkin bisa mendelegasikan sebagian besar dari tugas-tugasnya. Dia juga mungkin bisa memberdayakan bawahannya untuk membuat keputusan pada jajaran mereka, akan tetapi, dia mengetahui bahwa, Dia tidak dapat membebaskan dirinya dari penilaian negatif atas keputusan buruk para bawahannya.

Karena, keputusan buruk itu dibuat oleh mereka yang diputuskannya sebagai pengemban dari sebagian kewenangannya. Jika bawahannya salah, sebetulnya sang pemimpin telah salah memilih bawahan untuk memutuskan atas namanya. Dia menyadari sekali bahwa sebuah posisi kepemimpinan adalah posisi bagi keputusan akhir, yaitu keputusan yang harus dibuatnya secara pribadi.

Dia setia kepada yang benar.
Dalam peliknya pertentangan berbagai prioritas dan kepentingan di organisasi dan di publik yang dilayaninya, seorang pemimpin dengan jalan keemasan selalu ingat untuk kembali kepada yang benar.

Dia menyadari bahwa semua yang sulit itu datang karena pengabaian dari hal-hal yang baku. Dan yang sulit itu juga berperan sebagai pemaksa agar orang kembali kepada perilaku yang benar, bagi tercapainya perbaikan dan kebaikan berikutnya.
Itulah sebabnya dia berupaya keras menjaga tindakannya sendiri untuk setia kepada yang dituntutnya dari orang lain, karena hal itu adalah penentu tingkat hormat dari bawahannya.

Dia mengharuskan dirinya untuk melakukan yang dikatakannya,
dan mengatakan yang dilakukannya. Dia sangat berani dalam mendirikan yang benar
dan tidak Sanggup Membayangkan dirinya melakukan yang dilarangnya atas mereka yang dipimpinnya.

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)


Mengambil tajuk yang sama dengan film Dedi Mizwar : Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Sejarah pernah mencatat, dan dunia pun mengakui, bahwa B.J Habibie adalah salah satu manusia jenius di muka bumi. Melanjutkan kuliah di Jerman, lulus dengan predikat summa cumlaude, lalu menjadi insiyur sekaligus ilmuwan yang disegani di Jerman. Temuan-temuan penting di bidang penerbangan muncul dari pemikirannya. Kembali ke Indonesia atas panggilan Presiden Soeharto, menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi sekaligus otak IPTN. Keunggulan teknologi Indonesia mulai tampak dan tinggal menunggu waktu sebelum negara lain mulai kita tinggalkan.

Tahun 1997 Habibie masuk ke ranah politik menjadi Wakil Presiden RI. Ketika Orde Baru runtuh dan Soeharto lengser, otomatis Habibie menjadi presiden republik ini. Lalu, dengan alasan lepasnya Timor Timur dari Indonesia, Habibie dituduh melanggar konstitusi tertinggi : UUD 1945. Habibie juga dicitrakan sebagai antek Orde Baru. Kondisi di dalam negeri masih saja carut marut, intrik-intrik politik yang semakin kotor, akhirnya Habibie memutuskan kembali ke Jerman. Dan karena hal ini, dia dianggap tidak nasionalis. Ah, dilecehkan di negeri sendiri tapi disegani dan dihormati di negeri orang.

Sri Mulyani Indrawati, lulusan FE UI lalu melanjutkan ke University of Illinois, US. Pernah menduduki jabatan penting di IMF sebelum dipanggil kembali ke Indonesia oleh Presifen SBY. Masuk dalam kabinet SBY sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas. Tak lama kemudian menjadi menteri keuangan, jabatan penting di republik ini. Sri Mulyani menggagas reformasi birokrasi di Departemen Keuangan. Indonesia yang sejak merdeka belum pernah memiliki laporan keuangan, dalam 2 tahun kepemimpinannya dibuat mampu memilikinya. Perjalanan panjang perbaikan struktur dan kinerja Departemen Keuangan yang berujung pada remunerasi. Pengakuan akan keberhasilan reformasi di depkeu justru datang dari luar negeri. (Hal penting tentang remunerasi: Remunerasi tidak semata-mata berupa gaji dan tunjangan (reward) besar saja, tetapi juga tentang tuntutan dan target kinerja yang sangat berat, dengan punishment yang tegas terhadap setiap kesalahan).

Saat dunia mengalami krisi global pada akhir 2008, Indonesia masih mampu bertahan ketika negara-negara lain, bahkan sekaliber Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, justru kolaps.

Ketika SBY terpilih kali kedua menjadi presiden, Sri Mulyani kembali dipercaya menjadi menteri keuangan. Baru beberapa bulan menjabat, menggulirlah kasus Bank Century. Sri Mulyani dan Wapres Boediono dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kasus tersebut. Kasus tentang kebijakan keuangan negara yang akhirnya berubah menjadi permainan politik legislatif. Kasus yang sebetulnya debatable.

Di tengah permainan politik dan intrik-intrik yang semakin tak masuk akal, datang tawaran dari World Bank kepada Sri Mulyani. Dia ditawari menjadi Managing Director yang menguasai 3 kawasan: Amerika Latin dan Karibia, Afrika Utara dan Timur Tengah, dan Asia Timur. Telah terindikasi bahwa Sri Mulyani telah mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden SBY dan menerima tawaran World Bank, sehingga per 1 Juni dia resmi berkantor di Washington sebagai salah satu jajaran senior di sana.

Ketika negeri ini tidak mampu mengapresiasi dan tidak mau mengakui kompetensi yang dimiliki putera-puteri terbaiknya, maka petaka macam apa lagi yang masih sanggup kita tanggung. Berapa banyak ilmuwan-ilmuwan kita yang justru berprestasi dan dihormati di luar negeri. Di negerinya sendiri mereka tidak memperoleh kesempatan dan justru menjadi bulan-bulanan orang yang tidak senang dengan kelebihan mereka. Berapa banyak insiyur perminyakan lulusan kampus-kampus terbaik Indonesia yang justru bekerja untuk Petronas atau mengadu nasib ke negara lain.

Kita masih susah untuk menyamakan tujuan dan saling melengkapi untuk membangun Indonesia yang kita cintai ini. Saling sikut untuk menjadi yang terdepan. Bukannya saling rangkul untuk sama-sama membentuk barisan di depan, sebagai garda yang melindungi bangsa ini. Sudah saatnya kita semua bersikap dewasa. Terlalu lama bangsa ini bermain-main dalam kubangan yang sama. Sampai lupa untuk segera bangkit, beranjak, lalu lari sekencang-kencangnya.

Ah, kadang kita tertawa melihat tingkah konyol orang-orang (yang mengaku) penting di negara ini. Satu-satunya hiburan yang bisa kita nikmati ketika tidak ada lagi kabar positif tentang Indonesia. Tapi, sampai kapan kita mampu tertawa?

Friday, August 27, 2010

Mystery Reveals: Jakarta Surrounded Congestion


The imbalance between the number of motor vehicles with a length of road infrastructure is the main cause of congestion problems in Jakarta. In addition, the more distant settlements from the centers of activity, especially places to work are also factors that cause significant bottlenecks. To date, the number of vehicles has already reached 6.5 million units, where 6.4 million units or 98.6% are private vehicles and 88 477 units or approximately 1.4% is public transport. In addition, the growth of vehicles in Jakarta were also extremely high, each year could reach 10%. For vehicles, the growth rate reached 240 units per day, whereas for motorcycles, the growth rate reached 890 units per day. Public transportation, whether in the form of taxis, cars, goods, tourist buses, or bus AKAP, only an increase of 8 thousand during the period 2001-2008. Meanwhile, in the year 2008, the highest share occupied taxis for public transport vehicles of all types of public transport in Jakarta, amounting to 48%, while the bus is only 17%.

Ministry of Public Works revealed the growth rate of motor vehicles in the Greater Jakarta area reached 9% per year, is not comparable with the rate of growth of road which is only 0.01% per year. As a result, Jakarta has a deficit of road where the broad street in the capital is only about 6.2% of the total area, whereas, the number of vehicles reached 178 cars per 1000 people. In addition, if the city development and transportation in Jakarta is left running without a breakthrough policy, then in Jakarta in 2014 estimated a total loss. Once the vehicle out of the garage, he would immediately paralyzed in a long queue of vehicles. These figures put forward by the Japan International Corporation Agency (JICA) after seeing the development of population, vehicles and road facilities in Jakarta.

These numbers become very significant because of the availability of road infrastructure in Jakarta was not yet complied with the ideal. The length of roads in Jakarta only about 7650 km with an area of 40.1 km2, or only 6.26% of the total territory. In fact, the ideal ratio between the area of road infrastructure and is 14%. With a condition that is not ideal, can be easily understood if the more difficult to overcome traffic congestion and air pollution is increasing.

Apart from aspects related to facilities and infrastructure, congestion aggravated by the presence of the Jakarta shopping centers (malls), which has long been both existing and new. If we examine, for the last five years grow some towering commercial buildings in the city center or in an area already crowded with commercial activity. The presence of new commercial buildings that automatically generate traffic to rise significantly, thereby becoming a new magnet congestion in the city center. This phenomenon will continue to arise because there are still some vacant land in Jakarta. For owners of capital, land is the main capital for capital accumulation even more. And where there is vacant land, there will be built a new commercial center.

Thursday, August 26, 2010

Congestion in Jakarta, What To Do With?


By: Hermawan Patrianto
Capital Region of Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya), with an area of 740.20 km2 and a population totaling 9.6 million (2010) with 23 million people population of Greater Jakarta metropolitan, has grown into the largest metropolitan area in Indonesia or to order six of the world. Now the greater Jakarta area have been integrated with the Bandung Raya, has placed the region at number-two in the world, after megapolis New York, Shanghai, Berlin and Hong Kong. This means that Jakarta must be ready to anticipate any negative impact the development of its territory, from the readiness of the macro-political and readiness of the micro- technical aspects.

As a capital state with all its charm, Jakarta experienced physical development and very quickly socio-economics growth, even to exceed the carrying capacity of its territory. As a result, Jakarta is now faced with various problems, ranging from demographic problems, flooding, traffic congestion, pollution, crime, lack of clean water, electricity supply crisis, waste management to other social problems.

Among these problems, congestion problems is one of the main problems in Jakarta. The impact is large, so that the handling of congestion problems should be top priority. Due to congestion, not just the loss of the time but also resulted in material damages are estimated to reach trillions of rupiah. Millions of cars and motorcycles filled the streets, of course, cause loss. Studies ever undertaken: the Study on Integrated Transportation Master Plan for Greater Jakarta (SITRAMP 2004) has been count losses due to congestion in Jakarta at Rp 8.3 trillion. Losses would include three aspects: first, loss of vehicle operating cost of Rp 3 trillion, the loss of time to Rp 2.5 trillion, and health impacts caused by PM10 particles amounting to Rp 2.8 trillion. In 2010, congestion is getting worse, and of course the value of the losses were already getting bigger.

Jakarta has now become a city with high levels of pollutants, emissions of motor vehicles contributed 80% of pollution in Jakarta, while the remaining 20% comes from industry. Air pollution in Jakarta is the worst in all of Indonesia. In a global scale, Jakarta is a city with the worst pollution level number three in the world (after Mexico city and Thailand). Furthermore (still on a global scale), concentration of dust particles (particulate matter) contained in the air in Jakarta was the highest number 9 (ie 104 mikrogram/m3) of 111 world cities surveyed by the World Bank in 2004.

Another reason for the increasing rate of pollution in Jakarta is the lack of green open space (green space) of the city. City green space is part of the open spaces in urban area filled with plants, vegetation (endemic, introduction) to support the benefits of direct and/or indirectly generated by the city's green space in the security, comfort , welfare, and the beauty of urban areas.

Indonesia - Malaysia Increasingly Heated


By: Hermawan Patrianto
This week we saw a lot of news on TV about the relation Indonesia - Malaysia that is begin heating up due to incidents of arrest of three Indonesia marine officers by Malaysian marine soldiers. Some communities in Indonesia consider it is a form of insult to the sovereignty of the Indonesian state, even some members of the Indonesian Representatives (DPR) requested to the Government of Indonesia, especially President SBY to seriously respond to this case. Some of the people of Indonesia considered that not just this one time, Malaysia did the things that interfere with the sovereignty of the Republic of Indonesia. Claim Indonesian folk song and Indonesian culture by the Malaysian, case of simpadan - Ligitan, and Ambalat, are some issue between Indonesia and Malaysia that have upset the majority of Indonesian society.

On the one hand, we as ordinary people consider that Malaysia too often do a disturbing act of the Indonesian nation. But on the other hand, we see the Government of Indonesia is too relaxed and did not immediately take decisive steps to resolve this matter, so that the people of Indonesia growled against his own government.

Then what should be done by this nation?
1.This nation would have to protect every citizen from every threat that comes from outside, of course, by knowing and understanding the sitting case is actually happening. Take stern action, if it is felt that the authorities less able to resolve this matter, then the President as the supreme leader of the state must intervene immediately to resolve this issue.

2.Once again, understand the problem properly, and bring the parties directly involved in the incident, so that we can fairly judge who is right and wrong. It is important to avoid any possibility of misunderstanding between two nations.

3.Indonesian people not to do negative actions that could trigger an increase in tensions between Indonesia - Malaysia. The best way for this nation is to show to Malaysia that we are a wisely nation and do not like conflict. But if Malaysia continues to consistently do things that threaten the sovereignty of states, then Indonesia should not hesitate to give a strong warning to Malaysia.

Tuesday, August 3, 2010

KONSEP KOTA KOMPAK (COMPACT CITY)


Dalam berbagai diskusi tentang pola-pola ruang dan bentuk kota yang berkelanjutan wacana yang diistilahkan sebagai kota kompak (compact city) tampaknya telah menjadi isu paling penting dewasa ini. Perhatian besar saat ini telah memfokuskan pada hubungan antara bentuk kota dan keberlanjutan, bahwa bentuk dan kepadatan kota-kota dapat berimplikasi pada masa depan mereka.

Darai debat itu argument-argumen yang kuat sedang dimunculkan bahwa kota kompak adalah bentuk kota yang dianggap paling berkelanjutan. Inilah yang diungkapkan oleh Mike Jenks, Elizabeth Burton dan Katie Williams (1996) dalam buku mereka yang berjudul Compact City : A Sustainable Urban Form ? buku ini juga sekaligus mengajukan berbagai opini dan riset dari serangkaian disiplin ilmu, dan memberikan suatu pemahaman dari debat teoritis dan tantangan-tantangan praktis yang melingkupi gagasan kota kompak ini. Tidak dipungkiri bahwa gagasan kota kompak didominasi oleh medel dasar dari pembangunan yang padat dari banyak kota-kota bersejarah di Eropa. Maka tidak mengherankan jika para penganjur paling kuat bagi kota kompak adalah komunitas Eropa (Commission of the European Cummunities).

Kota kompak ini memang digagas tidak sekedar untuk menghemat konsumsi energi, tetapi juga diyakini lebih menjamin keberlangsungan generasi yang akan datang. Jenks menyebutkan bahwa ada suatu hubungan yang sangat kuat antara bentuk kota dengan pembangunan berkelanjutan, tetapi sebenarnya tidaklah sesderhana itu atau bahkan langsung berbanding lurus. Ini seolah-olah telah dikesankan bahwa kota yang berkelanjutan adalah “Mesti terdapat suatu ketepatan dalam bentuk dan skala untuk berjalan kaki, bersepeda, efisien transportasi masal, dan dengan kekompakan dan ketersediaan interaksi social” (Elkin et.al., 1991, p.12).

Namun demikian dalam kota kompak ini terdapat gagasan yang kuat pada perencanaan “urban containment” yakni menyediakan suatu konsentrasi dari penggunaan campuran secara sosial berkelanjutan (socially sustainable mixed use), mengkonsentrasikan pembangunan-pembangunan dan mereduksi kebutuhan jalan hingga mereduksi emisi kendaraan-kendaraan. Oleh karena itu promosi penggunaan Public Transport (transportasi public/masal), kenyamanan berlalu lintas, berjalan kaki dan bersepeda adalah sering dikutip sebagai solusi (Elkin et.al., 1991, Newman, 1994).

Lebih lanjut melalui perencanaan efisiensi penggunaan jalan, yang dikombinasikan dengan skema daya listrik dan pemanasan, dan bangunan hemat energi juga dapat mereduksi emisi-emisi polutan yang beracun. (Nijkamp and Perrels, 1994; owens, 1992). Kepadatan tinggi dapat membantu membuat persediaan amenities (Fasilitas-fasilitas) dan yang secara ekonomis viable, serta mempertinggi keberlanjutan social (Houghton and Hunter, 1994).

Menerapkan secara penuh gagasan kota kompak bagi perencanaan kota-kota di Indonesia jelas masih membutuhkan kajian, studi dan riset tersendiri. Bagaimanapun konsep kota kompak bukanlah konsep yang kaku dan sederhana yang menggambarkan sebuah bentuk kota tertentu. Adanya perbedaan masing-masing karakteristik kota dan hudaya masyarakat yang menghuninya harus dimaknai bahwa kota kompak juga perlu dilihat dalam konteks kekhasan budaya, ekonomi dan identitas fisik kotanya saat ini untuk perubahan kota (urban change) di masa datang yang lebih baik dan efisien.

Namun ada hal yang sudah pasti yakni jika kita melihat kota-kota besar di Indonesia saat ini seperti Jakarta dan Surabaya, adalah terjadinya perkembangan kota yang padat dan semakin melebar secara horisontal tanpa batas yang jelas. Pelebaran ini mengakibatkan munculnya kota-kota pinggiran yang menjadi penyangga akibat perkembangan kota Jakarta seperti kota Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang dll. Banyak pegawai yang tinggalnya di Jakarta tetapi tinggalnya di kota-kota pinggiran tersebut hal ini sudah dipastikan adany inefisiensi waktu, tenaga, dana, sumber-sumber energy dan lain-lain. Maka membangun kota yang padat dan vertikal sudah menjadi sebuah kemestian bagi perkembangan kota Jakarta dan kota-kota lainnya di masa yang akan datang.

Inefisiensi itu lebih diperparah lagi ketika perkembangan kota-kota besar itu belum diiringi denga penyediaan transportasi masal yang representatif dan memadai. Bagi kota-kota besar di Indonesia, dalam hal ini penyediaan transportasi public misalnya busway, monorail dan berbagai jenis mode transportasi masal jelas sesuatu yang tidak bisa di tawar-tawar lagi. Kemacetan di kota-kota besar akibat meningkatnya volume kendaraan karena bertambahnya pengguna mobil pribadi adalah sesuatu yang mesti segera di akhiri. Pada akhirnya konsumsi energi khususnya minyak BBM yang harganya fluktuatif itu diharapkan juga bisa sangat terkurangi.

Referensi: http://ridlomunawir.wordpress.com/